kuliner
Murahnya Nasi Pecel Di Ponorogo
Sudah hampir 20-an tahun saya mengenal
warung pecel milik pak Katiran ini, warung jualannya di dekat jembatan
Sekayu sebelum masuk kota Ponorogo dari arah Wonogiri. Meski didekat
sungai namun jam 6 pagi orang sudah berjubel antri makan dan jam 9-an
sudah tutup karena dagangannya habis. Sebenarnya di Ponorogo ada ratusan
penjual nasi pecel, meski bahannya sama namun ada citra rasa yang
berbeda-beda, mulai dari tingkat kepedasan sampai lauk yang
melengkapinya. Dan para penjual nasi pecel ini biasanya berjualan antara
3-4 jam sehari. Begitu juga warung milik pak Katiran ini hanya buka jam
6-9-an pagi, kata istri pak Katiran biar segar sayur dan rasanya, kalau
kelamaan dihidangkan rasanya sudah berubah. Namun begitu dalam rentang
waktu itu warungnya bisa menghabiskan 40-60 kilo gram beras.
Bu Katiran bersama 6 orang karyawatinya
kebagian memasak, sedang pak Katiran kebagian berbelanja. Nampak di foto
atas bu Katiran menanak nasi menggunakan dandang dan kukusan di atas
tungku yang menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakarnya.
“Elpigi mirah kok masih pakai kayu bakar bu?” tanya saya sambil blusukan di dapur.“Rasanya berubah mas, nasine ndak bisa pulen kalau pakai elpiji atau majik jer….” jawabnya.
“Mboten sangit to bu…. keluke kados ngaten….?” tanya saya.
“La niku sing marakne tiyang madosi
mas…..” jawabnya, entahlah saya ndak paham betul tentang memasak, yang
saya tahu makan enak dan kenyang.
Menurut bu Katiran sehari bisa
menghabiskan kacang tanah untuk bahan sambel 5 kg-an, bahan-bahan semua
pilihan pak Katiran, kalau tidak baik pak tidak mau, karena pantang
menurunkan mutu. Dan Sambal yang membikin pak Katiran sendiri, tidak
digiling namun ditumbuk memakai lumpang dan alu yang terbuat dari kayu
jeruk, katanya sambelnya biar sedap. Dan tidak digiling pakai mesin,
alasannya aromanya seperti aroma bensin, tapi entahlah ini sudah
dikerjakannya puluhan tahun.
Selain itu harga seporsi nasi pecel di
warungnya hanya 3 ribu rupiah, naik 5 ratus rupiah paska kenaikan BBM
ini yang tadinya cuma 2,5 ribu. Porsi makan disini tidak terlalu banyak
dan tidak terlalu sedikit, sehingga jarang orang yang menyisakan,
kasihan nasinya kalau sisa dan terbuang kata bu Katiran. Dan bila ingin
nambah tinggal bilang tambah separoh atau penuh.
Sebenarnya banyak warung pecel di
Ponorogo, namun jam buka dan citra rasanya berbeda-beda, ada yang buka
pagi, siang, sore, malam, bahkan ada yang buka mulai jam 4 pagi.
Sehingga pembeli bisa membeli sesuai selera dan waktu longgarnya. Nasi
pecel seperti sudah menjadi makanan pokok orang Ponorogo.
“Sehari nggak makan pecel rasanya kurang
enak di badan mas…, saya selalu sarapan pecel dan siang dan malamnya
baru yang lain…” kata Pak Lurah Sampung yang kebetulan makan bareng di
warung pak Katiran tadi pagi.
Banyaknya yang melayani di warung ini membuat pembeli tidak terlalu lama mengantri. Banyak pilihan lauk mulai dari tempe goreng, tempe kepleh, mendoan, mendol, tahu, peyek tolo, peyek kedelai, peyek teri, peyek udang, wader, lele, telur goreng, garingan (ikan kali kecil-kecil yang mirip lele).
Ada bermacam-macam varian pecel, dan
semua rasa tergantung dimana daerah pecel itu dibuat, meski bahan
sambal sama namun masing masing mempunyai ciri tersendiri, begitu pula
Ponorogo sendiri mempunyai kekhasan, pecel Ponorogo sambalnya
diencerkan memakai air dingin sehinggak rasa kacang masih tersa manis
dan berwarna coklat kemerahan, sementara di Madiun atau kota lainnya
memakai air panas sehingga kacangnya terasa seperti kacang rebus dan
warnanya pucat. Pecel Ponorogo lebih terasa daun jeruknya sementara
pecel luar Ponorogo rasa daun jeruk tidak nampak. Selain itu sambal
pecel Ponorogo tidak digiling dengan mesin namun ditumbuk dalam mencapur
bumbunya, untuk yang fanatik masih menggunakan lumpang dan alu dari
bahan pohon jeruk, katanya rasanya akan lebih mantap.
Selamat Jalan-Jalan
Selamat mampir di Pecel Ponorogo
Oleh Nanang Diyanto
Post a Comment
0 Comments