Sejarah Telaga Ngebel


Berawal dari Hunting Bersama Don Hasman "Travel & Andventure Photographer" di Telaga Ngebel Ponorogo. Muncul pertanyaan dari beliau yg membuat penulis termotifasi dan penasaran juga mengetahui sejarah Telaga Ngebel, mencoba mencari informasi dari berbagai sumber semoga bisa menambah wawasan untuk kita.


Saya mulai dari segi bahasa,
Ngebel sendiri berasal dari bahasa Jawa, 
ngembel‘ atau berair. Karena,  dahulu ada seorang Wara’i atau orang yang sakti ilmu kanuragan dan ilmu agamanya melewati suatu daerah di kawasan Ponorogo dan melihat fenomena tanah yang berair itu.
Maka sang Wara’i pun berujar;
Ana sak wijining jaman, tlatah iki kasebut Ngembel  Suatu saat daerah ini bernama Ngembel”
Tapi karena lidah yang salah kaprah dalam waktu yang lama dan turun temurun, maka Ngembel pun berubah menjadi Ngebel. 






Detil Dongeng tersebut adalah sebagai berikut.


Jaman dahulu, ada sepasang suami istri yang tinggal di suatu kampung yang melahirkan anak seekor ular naga. Naga itu diberi nama BARU KLINTING. Melihat keanehan wujud Baru Klinting ini, mereka tak berani tinggal di kampung tersebut karena takut menjadi bahan gunjingan tetangga.Mereka pun mengungsi ke puncak gunung untuk mengasingkan diri dan memohon pada dewa agar mengembalikan rupa putra mereka ke wujud manusia.


Doa itu pun didengar. Syarat yang harus dilakukan oleh Baru Klinting adalah melakukan pertapaan selama 300 tahun dengan cara melingkarkan tubuhnya di gunung Semeru. tetapi panjang tubuhnya kurang sejengkal untuk bisa melingkari seluruh gunung. Untuk menutupi kekurangan itu, ia menyambungkan/ menjulurkan lidahnya hingga menyentuh ujung ekornya.


Rupanya, syarat untuk menjadi manusia tak hanya itu. Dewa meminta sang Ayah agar memotong lidah Baru Klinting yang sedang bertapa tersebut. Baru Klinting yang bersemedi tak menolak toh demi kebaikannya agar menjadi manusia.

Waktu bertapa hampir selesai, ada tetua kampung yang akan menikahnya anaknya, sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, terlebih lagi soal hidangan. Konon, mereka akan menggelar pesta pernikahan yang sangat mewah dan sangat besar. Untuk menutupi kekurangan bahan makanan, secara sukarela warga pun membantu berburu di hutan. Ada yang mencari buah-buahan, ranting/ kayu bakar hingga hewan buruan seperti rusa, kelinci, maupun ayam hutan.
Sudah beberapa lama warga berburu,namun tak mendapatkan hasil buruan apapun
Tanpa sengaja, ada segolongan warga yang istirahat karena lelah berburu mengayunkan parangnya pada pokok pohon tumbang. Namun, alangkah kagetnya mereka ternyata parang itu malah berlumuran darah. Dari pokok pohon tumbang itu mengucur darah segar. Bahkan, mereka baru sadar kalau yang mereka tebas tadi bukan pohon tumbang tetapi ular raksasa/ ular naga. Melihat hal ini, warga pun beramai-ramai mengambil dagingnya untuk dimasak dalam pesta pernikahan tersebut.
Pesta pernikahan anak kepala kampung bertepatan dengan hari berakhirnya pertapaan Baru Klinting. Benar saja, naga itu berubah wujud menjadi anak kecil. Sayangnya, si anak mengalami kesusahan dalam berbicara karena lidanya dipotong sebagai syarat menjadi manusia. Tak hanya itu, tubuhnya penuh dengan borok yang membusuk lantaran saat bertapa tubunya disayat-sayat untuk diambil dagingnya oleh warga sebagai bahan pesta.
Anak itu kelaparan dan memohon agar diberi makanan. Namun, tak satu pun warga yang memedulikannya. Warga malah mengejek dan mengusir anak kecil itu. Melihat nasib anak itu, seorang wanita tua merasa kasihan dan membawanya pulang. Lalu si anak diberi makan dengan lauk berupa daging yang diterima dari pesta kepala kampung. Si anak pun makan dengan lahap tapi dia tak mau memakan daging itu.
“Bu, tadi saya pikir sudah tak ada lagi orang baik di kampung ini. Rupanya, masih ada orang seperti Anda. Bu tolong siapkan lesung (kayu tempat menumbuk padi) bila terjadi sesuatu ibu segeralah naik lesung tersebut” Begitu pesan Baru Klinting selesai makan. Si wanita tua itu pun menuruti ucapan Baru Klinting tanpa banyak pertanyaan kenapa, kemudian Baru Klinting pun kembali ke tempat pesta.
“Wahai warga semua, lihatlah di tanganku. Aku memiliki sekerat daging. Jika kau mampu memenangkan sayembara yang kuadakan, maka ambillah daging ini. Namun, jika kalian tak mampu, maka berikanlah semua daging yang kalian masak padaku” ucap Baru Klinting.
Warga pun mencoba satu persatu tapi semuanya tak mampu mencabut sebatang lidi tersebut. Sayangnya, warga tetap tak mau mengembalikan daging yang telah mereka masak.
“Lihatlah ketamakan kalian wahai manusia. Lihatlah ketidak pedulian kalian pada sesama, pada manusia yang cacat sepertiku. Bahkan kalian tidak mau mengembalikan hakku! Ketahuilah, daging yang kalian masak itu adalah dagingku saat aku menjadi ular naga. Maka, kalian berhak mendapatkan balasan setimpal!” Baru Klinting pun segera mencabut lidi tersebut.

Keanehan pun terjadi. Dari lidi itu mengucur air, terus menerus hingga menenggelamkan kampung tersebut.
Genangan air itupun berubah menjadi telaga, Sedang orang tua yang memberi makan baru klinting selamat karena naik lesung. Bahkan sejak itu pula, Baru Klinting berubah lagi menjadi ular dengan melingkarkan tubuhnya di dasar telaga yang bentuknya menyempit di bagian bawah itu.Saat ini, telaga itu masuk daerah Ngebel sehingga terkenal dengan telaga Ngebel.

Post a Comment

1 Comments

Unknown said…
terima kasih Bung, tulisan ini ikut memberikan wacana tentang telaga Ngebel. Walaupun mungkin perlu pula sedikit diberi ulasan bahwa ini cerita rakyat. Untuk menambah wacana, memang perlu ada penelitian tentang sejarah kawasan ngebel ini, mulai dari kapan didiami, kapan belanda membangun penginapan dan hotel di Ngebel, kapan hotel ini dihancurkan pejuang dll dll. semoga para cerdik cendekia dapat memberikan penjelasan yang lebih konkret