budaya
Gong Gumbeng Sejak 1837 Masehi
gong gumbeng |
Gong Gumbeng, kesenian yang sudah tidak asing lagi bagi warga
Ponorogo. Kesenian yang berasal dari desa Ringin Anom Sambit ini kini
sudah ditetapkan menjadi kesenian asli Ponorogo, kesenian lokal yang
lahir dan hanya ada di Ponorogo.
Saat ini
keberadaanya kesenian lokal ini sudah mulai tersisih, bahkan mulai
ditinggalkan penggemarnya. Pesatnya kemajuan teknologi, derasnya
modernisasi dan informasi membuat kesenian Gong Gumbeng kurang diminati.
Regenerasi dari penggiat tua ke kaum muda belum begitu menampakkan
hasil yang maksimal. Untuk itulah pihak pemerintah daerah terus
memperkenalkan seni langka ini pada event-event yang bersifat resmi.
Seperti diundang ke pinggiran, yang merupakan rumah kediaman Bupati,
menghibur tamu tamu resmi, dan kegiatan resmi lainnya.
group gong gumbeng |
Menurut warga Ringin Anom kesenian Gong Gumbeng ini telah ada lebih seabad, tepatnya tahun 1837 masehi tutur warga.
Gong
Gumbengmerupakan seperangkat alat gamelan yang terdiri dari 15 gumbeng
(mirip angklung yang digantang), 1 gong bonjor, 1 kendang, dan 1 siter.
Asal
kata gumbeng berasal dari kata bumbung yang berarti potongan bambu,
dari kata inilah kemudian muncul istilah Gumbeng. Menurut istilah lain
gumbeng berasal dari kata mubeng yang mempunyai maksud bahwa dengan
hanya menggunakan alat yang sederhana dapat memainkan beberapa lagu
sehingga bisa mubeng (mengamen).
Konon
sejarah kesenian Gong Gumbeng ini dibawa oleh bangsawan Mataram yang
bernama Irogiri ke desa Wringin Anom sekitar tahun 1837 M. Kemudian oleh
kepala desa Wringinanom pada saat itu, gamelan tersebut digunakan
sebagai sarana upacara bersih desa yang diadakan di sendang
Mantilidirjo, sehingga kini
Kegiata upacara
tersebut dilaksanakan setiap tahun tepatnya setiap bulan selo pada hari
Jum'at terakhir. Irogiri juga menceritakan bahwa Gong Gumbeng ini
adalah alat yang digunakan oleh Panembahan Senopati dan Ki Ageng
Pemanahan untuk mengalahkan musuhnya, Ki Ageng mangir. Dalam pertempuran
memperebutkan tanah Metaun di keadiaman Ki Ageng Mangir tepatnya di gua
kaki bukit merapi. Panembahan Senopati dan patih Janurwendo mengalami
kekalahan, mereka bertiga melarikan diri sebelum mati terbunuh.
Dalam
pelarianya mereka beristirahat di bukit tak jauh dari Hyang Widi
dikatakan bahwa jika Ki Ageng Mangir ingin terbunuh, maka Panembahan
Senopati harus mengorbankan putri sulungnya, Angkrong Sekar Pembayun
untuk menjadi tledek, dan membuat Gong Gumbeng untuk pergi ke merapi.
Yang berbahan dari bambu wulung, angklungnya 12 serta kendang dan gong
bonjor. Konon kesaktian Ki Ageng Mangir hilang setelah menikahi tledek
yang tak lain adalah Angkrong Sekar Pembayun, pada akhirnya Ki Ageng
Mangir dibunuh oleh mertuanya, ketika mengantarkan istri dan anaknya ke
Keraton Mataram.
Cara memainkan gamelan ini
dengan cara dikocok kocok sehingga menimbulkan bunyi. Alat ini apabila
dimainkan dengan perpaduan gending Jawa akan menghasilkan irama yang
unik dan enak di dengar.
Nada yang ditimbulkan adalah bersekala pentatonik yaitu tangga nada yang mempergunakan lima buah nada dan berlaraskan slendro.
Kini keberadaan kesenian ini lebih dominan untuk mengiringi tembang macapat dan salawatan pada berjanjen.
Liputan Shandy A A Miraza
Post a Comment
0 Comments