religi
Pasarean (Astana) Srandil Jambon Ponorogo
Pasarean
(Astana) Srandil terletak di Desa Srandil, Kecamatan Jambon atau 11 km
ke arah barat Kota Ponorogo menuju Badegan. Pasarean Srandil merupakan
kompleks atau himpunan kesatuan dari beberapa makam para keturunan
Bupati Somoroto.
Ditinjau
dari segi geografis, Pasarean Srandil terletak di areal perbukitan yang
saling sambung menyambung yang semuanya berjumlah lima bukit. Jika
diurutkan mulai dari barat ke timur, kelima bukit tersebut adalah Bukit
Lemu, Bukit Bancak, Bukit Ngrayu, Bukit Srayu, dan Bukit Srandil.
Sedangkan Pasarean Srandil terletak di Bukit Srayu yang artinya “Sugeng
Rahayu” atau bukit pembawa keselamatan.
Tokohpertama yang dimakamkan dan yang menjadi cikal bakal berdirinya
Pasarean Srandil adalah Raden Mertokusumo, yaitu patih dari Kabupaten
Polorejo yang menjadi pendukung Pangeran Diponegoro dalam melawan
penjajah Belanda.
Setelah
Raden Tumenggung Brotonegoro Bupati Polorejo gugur dalam melawan
penjajah Belanda, patihnya yang bernama Raden Dipotaruno berhasil
meloloskan diri, kemudian beliau melarikan diri ke Desa Srandil dan
bersembunyi di Goa Batu yang ada di bukit Ngrayu. Setelah situasinya
aman, beliau memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan
diperkirakan sejak saat itu beliau berganti nama menjadi Raden
Mertokusumo dalam usaha menghindari usaha pengejaran prajurit Belanda.
Oleh karena itu masyarakat Srandil lebih mengenal nama Raden Mertokusumo
daripada Raden Dipotaruno sampai sekarang. Di Desa Srandil, Raden
Mertokusumo menjadi sesepuh dan panutan masyarakat Srandil bersama Kyai
Mohibat, putra Kyai Kasan Yahya dari Tegalsari, yakni tokoh pertama yang
membuka (membabat) Desa Srandil. Kedua tokoh tersebut sangat dihormati
oleh masyarakat Srandil sampai sekarang.
Sebelum
Raden Mertokusumo meninggal dunia,beliau berpesan kepada masyarakat
Srandil, bahwa jika beliau meninggal dunia, jenazahnya supaya dimakamkan
di Bukit Srayu yang artinya Sugeng Rahayu atau bukit pembawa
keselamatan. Karena atas pertolongan Allah, di Bukit Srayu itulah beliau
berhasil menyelamatkan diri dari kejaran prajurit Belanda.
Pada
waktu Kabupaten Somoroto diperintah oleh Raden Mas Tumenggung
Sumonagoro (Bupati Somoroto II) sekitar tahun 1830-an, beliau mengajukan
permohonan kepada Raja Surakarta Sunan Pakubuwono IV agar Desa Srandil
yang luasnya 70 hektar dijadikan sebagai daerah perdikan (bebas pajak)
untuk menjaga dan memelihara Pasarean Srandil dan sekaligus akan
dijadikan sebagai pemakaman para keturunan bupati Somoroto. Dan
permohonan tersebut dikabulkan oleh Sunan Pakubuwono IV. Kemungkinan
pembuatan pagar keliling yang berukuran 24m x 24m pada Pasarean Srandil
yang tetap kokoh sampai sekarang sudah dimulai pada masa pemerintahan
Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, yang kemudian disempurnakan pada tahun
1931 sesuai petunjuk papan nama yang terdapat pada Pasarean Srandil.
Jika
dibandingkan dengan makam-makam Islam yang ada di Nusantara, Pasarean
Srandil termasuk pemakaman yang relatif muda usianya, yaitu dibangun
pada abad ke-19. Namun ciri khas sebagai “makam Islam Nusantara” masih
tetap melekat, seperti adanya pengaruh budaya asli bangsa Indonesia
budaya Hindhu maupun budaya lokal (Jawa).
Ditinjau
dari segi tata letak makam, Pasarean Srandil terletak di areal
perbukitan yang menganut pola pembagian pelataran menjadi tiga halaman.
Halaman pertama berada di luar gedung, sedangkan pelataran kedua dan
ketiga berada di dalam gedung. Pola pembagian pelataran menjadi tiga
halaman tersebut merupakan budaya asli bangsa Indonesia, yakni
menyerupai punden berundak-undak, yaitu tempat pemujaan terhadap roh
nenek moyang yang berbentuk piramida berteras, dimana bagian belakang
lebih tinggi dari bagian depan.
Biasanya
pada halaman belakang (halaman ketiga) terdapat makam yang paling
dikeramatkan. Terbukti selain terdapat makam Raden Mertokusumo sebagai
cikal bakal Pasarean Srandil, juga terdapat dua makam bupati Somoroto,
yakni makam Raden Mas Brotodirjo Bupati Somoroto III dan makam Raden Mas
Adipati Brotodiningrat Bupati Somoroto IV. Lain halnya
dengan makam Raden Mas Tumenggung Prawiradirja Bupati Somoroto I,
makamnya berada di Pasarean Setono Ponorogo, sedangkan Raden Mas
Tumenggung Sumonagoro Bupati Somoroto II makamnya berada di Ampelgading
Surabaya.
Ditinjau
dari segi arsitektur makam, adanya pengaruh budaya Hindu Budha Jawa
masih tetap melekat. Hal ini dapat diketahui dengan adanya kori agung yaitu
gapura yang berpintu dan beratap sebagai pintu gerbang tempat keluar
masuk makam dari halaman pertama menuju halaman kedua dan ketiga. Kori agung merupakan peninggalan budaya agama Hindu yang berfungsi sebagai pintu gerbang bangunan candi. Setelah Islam mulai berkembang, kori agung dijadikan sebagai pintu gerbang makam dan pintu gerbang masjid. Kori agung (gapura)
pada Pasarean Srandil yang atapnya berbentuk “limasan” adalah bukti
adanya pengaruh budaya lokal (Budaya Jawa), karena ”limasan” itu sendiri
merupakan ciri khas bangunan rumah Jawa selain joglo dan serotong
Post a Comment
0 Comments