Ini kali pertama saya masuk ke dalam
masjid utama pondok pesantren Gontor, meski tempat tinggal dan kantor
saya cuma 5 km-an dari pondok modern Gontor,
tepatnya Jumat kemarin bisa
merasakan sholat didalam masjidnya yang besar yang bisa memuat ratusan
atau ribuan jamaah ini, awalnya merasa canggung antara takut dan
penasaran. Takut kalau masjid dan pondok tertutup untuk kalayak umum
karena masyarakat nyaris tak terlihat di masjid jumatan kemarin, namun
ternyata tidak seperti dugaan saya selama ini. Penasaran karena lahir
dan besar saya di Ponorogo dan sangat berdekatan, bahkan seringkali
lewat ketika mencari jalan pintas ke daerah Mlarak. Selama ini banyak
cerita tentang pondok terbesar di Indonesia ini, yang seakan menutup
diri dari lingkungan luar, atau mengisolasi diri dari luar pagar.
Sejatinya bagaimana??
Jumat
kemarin bersama teman sekerja saya Jumatan di masjid Gontor, berawal
karena ketinggalan sholat jumat di masjid kantor yang jam 11:35 sudah
dimulai kutbah sementara pekerjaan kami baru kelar jam 11:45-an.
Langsung kami meluncur memakai mobil ke arah Gontor, konon di masjid ini
awal jumatan-nya lebih lambat dibanding masjid-masjid lain di Ponorogo.
Benar adanya sesampai di jalan masuk Pondok Gontor masjid lingkungan
(luar pondok) sudah buyaran yang berarti jumatan sudah selesai.
Kekwatiran gagal ikut jumatan muncul lagi, namun saya terus mengarah
masuk ke dalam komplek pondok dan memarkir mobil di sebelah timur.
Tampak
ratusan santri pondok yang berpakain rapi dengan baju koko komplit
dengan tanda pengenal, sedang bawahannya memakai sarung yang di kasih
ikat pingang sambil tangannya menenteng buku tulis dan tas kecil
berwarna dan transparan.
"Maaf boleh numpang sholat jumat disini?"
tanya saya pada santri yang sedang berjalan menuju tangga depan masjid,
dia tidak menjawab hanya mengangguk sambil senyum dengan sopannya.
"Maaf tempat wudlunya mana mas?"
tanya saya lagi, namun lagi-lagi dia tidak mau menjawab, namun dengan
sopannya dia menunduk sambil memberikan arah dengan tangannya supaya
kami menuju belakang masjid.
Begitu memasuki masjid nampak
beberapa ustad menunjuk sana-sini mirip penerima tamu di undangan
temanten, mereka mengatur para santri yang baru masuk masjid untuk
menempati atau memenuhi shof depan.
Mereka duduk diam dan
teratur, begitu ada santri baru memasuki masjid dia langsung menempatkan
diri dengan memenuhi bagian depan terlebih dahulu.
Ada hal unik
mereka masuk masjid selalu membawa tas tenteng kecil berwarna-warni
namun ukuran dan modelnya seragam, dalam tas tersebut ada tulisan nama,
kelas, dan daerah asal. Sambil berdiri mereka menjatuhakan tas kecil
tersebut.
"Blaaak......" tiap tas tersebut dijatuhakan
dan pertanda ada santri yang baru masuk masjid, dan ketika saya amati
didalamnya berisi alas kaki, sambil menahan tawa saya mebayangkan kalau
tidak dengan cara begini mereka pasti berebut alas kaki setelah sholat
selesai, bila santri diatas 5 ribu bisa dibayangkan ribetnya kalau
tertukar sandalnya.
Kira-kira jam setengah satu para santri sudah
memenuhi masjid dan Kyai dan petugas khutbah masuk melewati pintu
didekat imaman dan sholat jumatpun dimulai.
Saya
baru ingat cerita teman saya sekantor yang rumahnya bersebelahan desa
dengan Gontor ini, kalau didalam area pondok ini wajib berbahasa Arab.
Dari
raut wajahnya dia bukan dari Jawa, namun kesopanan dan tindak tanduknya
sudah menjadi keseharian terutama ketika menhadapi ustdad, kyai,
ataupun tamu yang berkunjung.
Ketika saya perhatikan lebih
seksama pada papan nama yang selalu menempel pada pakaianya, dia berasal
dari Aceh, sedang 2 temannya berasal dari Maluku dan Sulawesi.
Benar-benar Gontor mirip taman mini-nya Indonesia tentang asal santri
yang menimba ilmu disini.
Kebetulan teman saya berasal dari Aceh,
dia bisa bercakap-cakap, entah apa yang mereka bicarakan mereka begitu
akrab meski baru beberapa menit bertemu, dan entah bahasa Arab atau Aceh
yang mereka pakai saya blank.
Tapi ketika saya bertanya apa yang
barusan dicakapkan, teman saya menceritakan dia berkampung sebelahan,
dan ketika ditanya apakah ramadhan tidak pulang, dia mnejawab untuk
kelasnya belum libur karena dia baru di sini sekitar setahunan, dan
boleh libur Ramadhan katanya ketika masuk tahun ke 3. Namun begitu
katanya masih ribuan yang tinggal disini karena masih tergolong santri
baru.
Bisa menjadi bagian dari Gontor adalah sesuatu yang luar
biasa, banyak yang mengidam-idamkan remaja sebayanya untuk bisa masuk
Gontor, namun rekrutmen terbatas dan seleksi yang ketat.
Beda
lagi tentang cerita orang Ponorogo tentang Gontor, orang cenderung takut
kalau masuk pesantren ini mahal karena di pesantren ini sudah sekalian
asrama dan makannya. Entah mahal tidaknya saya juga tidak tahu, mungkin
saja kurangnya informasi sehingga rasa takut dan was was itu muncul.
Maklum saja di Ponorogo ada ratusan jenis pesantren, namun rata-rata
masih pesantren tradisional dimana nyantri tidak sekalian makannya,
hanya disediakan tempat tidur ala kadarnya, bahkan gratis. (ceritanya
pada tulisan berikutnya).
Kalau
boleh saya katakan pondok pesantren ini merupakan pesantren tradisional
yang sudah modern, artinya pondok pesantren tradisional yang sudah
dikelola secara modern, baik sistem pengajaran, sistem administrasi,
maupun sistem jaringannya. Karena jarang sekali pondok pesantren yang
mempunyai cabang dimana-mana seperti Gontor ini, misal ada yang di
daerah Madusari, daerah Siman, bahkan yang di Ngawi khusus santriwati,
di Magelang, di Kediri, malah juga buka cabang di Poso Sulawesi.
Meski
dikategorikan pondok modern, pondok ini masih menggunakan tradisi orang
nadliyin, dimana terlihat pada jumatan kemari dilakukan 2 adzan sebelum
dibacakan khutbah seperti masjid masjid NU lainnya mungkin ini sudah
menjadi kebiasaan sedari awal berdirinya pondok. Dan yang membedakan
hanyalah isi khutbah full bahasa Arab, yang membuat saya tertegun dan
bengong karena sama sekali tidak bisa. Tahu-tahu yang khutbah
mengucapkan salam dan terdengan suara qomat pertanda khutbah selesai.
Di
sebelah timur masjid (depan) kanan bida ditemukan aula besar yang
berkapasitas bisa manampung ratusan santri. Diatas pintu masuk terdapat
foto trimurti (pendiri pondok).
Sedang didalamnya ada panggung dan baliho
besar yang biasa buat acara peringatan atau kegitan.
Timurnya
lagi ada rumah pusaka, yang berbentuk pendopo (rumah bucu), rumah ini
usianya sama dengan usia pondok, rumah ini adalah kediaman kyai pendiri
pondok yang sekarang lebih difungsikan sebagai musium.
Terus
ke timur ada masjid lama dan pondok lama (awal berdiri pondok), dan
dibelakanganya ada 2 petak makam para pendiri serta makam keluarga.
Dari
pesantren ini konon telah lahir para pejabat-pejabat, para pakar
politik, para saudagar yang terkenal di negeri ini. Kesederhanaan dan
kedisiplinan di pondok ini membuat mereka terlatih tahan banting. Konon
aturan tidak boleh makan diluar atau keluar selain hari libur sangat
dipatuhi, dulu bila ada santri gundul bisa disimpulkan karena hukuman
atas kesalahannya. Hari libur pondok ini adalah hari Jumat setelah
sholat jumat, mereka pergi ke kota untuk berbelanja aneka kebutuhan,
mereka pergi naik ojek atau berombongan dengan mencarter kendaraan
masyarakat sekitar, dan hal ini menjadi pemasukan tersendiri bagi para
tukang ojek atau mobil carteran. Dan setiap hari jumat bisa dijumpai
ratusan sampai ribuan para santri baik dari Gontor atau pesantren
lainnya yang berjalan berarak-arakan di kota Ponorogo. Dan bila bukan
bulan Ramadhan mereka memadati rumah-rumah makan yang menjadi langganan
pendahulunya, ciri-ciri warung tersebut adalah warung yang ada daftar
menu sekaligus daftar harga, dan yeng khas mereka mendatangi rumah makan
yang 'maaf' perempuannya berjibab dan bernuansa muslim.
Penulis & Foto Nanang Diyanto