budaya
125 Dadak Merak Tampil Bersamaan
Satu moment yg jarang dan langka sekali muncul di Ponorogo yg nota bene tempat lahirnya reyog, alun2 ponorogo menjadi lautan dadak merak dengan warna khas nya menghiasi nya.
Barongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling dominan dalam kesenian Reyog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain; Kepala Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan ditutup dengan kulit Harimau Gembong. Dadak merak, kerangka terbuat dari bambu dan rotan sebagai tempat menata bulu merak untuk menggambarkan seekor merak sedang mengembangkan bulunya dan menggigit untaian manik - manik (tasbih). Krakap terbuat dari kain beludru warna hitam disulam dengan monte, merupakan aksesoris dan tempat menuliskan identitas group reyog. Dadak merak ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram.
Semoga kedepan event seperti ini bisa rutin di adakan oleh Kab. Ponorogo, bukan dijadikan sarana kampanye oleh salah satu capres, yang bisa menarik minat wisatawan manca dan lokal untuk datang berkunjung ke Ponorogo, Coba kita ulas kembali Legenda Cerita Reyog.
dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran
komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah
kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang
oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati
Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk
menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi
Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang
bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila
akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya
kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah
reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut
ke mulut, dari generasi ke generasi.
Menurut
legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu
Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V.
Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena
terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena
itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau
Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai
harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang
permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng
melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para
warok yang sakti mandraguna. Di
masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar
500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat.
Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk
mengembangkan kekuasaannya.
Reog
mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana
Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni
pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara
Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang
raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi
Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk
memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi memenuhi
permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa
Barong (dadak merak). Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para
warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban.
Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke
gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan
dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi
juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum
Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi
lain dalam Reyog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar
tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya,
ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika
pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi
memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu
bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog
Ponorogo. Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reyog Ponorogo.
Reog di masa sekarang
Seniman
Reyog Ponorogo lulusan sekolah-sekolah seni turut memberikan sentuhan
pada perkembangan tari reog ponorogo. Mahasiswa sekolah seni
memperkenalkan estetika seni panggung dan gerakan-gerakan koreografis,
maka jadilah reog ponorogo dengan format festival seperti sekarang. Ada
alur cerita, urut-urutan siapa yang tampil lebih dulu, yaitu Warok,
kemudian jatilan, Bujangganong, Klana Sewandana, barulah Barongan atau
Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur tersebut beraksi,
unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol. Beberapa
tahun yang lalu Yayasan Reyog Ponorogo memprakarsai berdirinya Paguyuban
Reyog Nusantara yang anggotanya terdiri atas grup-grup reog dari
berbagai daerah di Indonesia yang pernah ambil bagian dalam Festival
Reyog Nasional. Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan pengayaan dan
perubahan ragam geraknyaBarongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling dominan dalam kesenian Reyog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain; Kepala Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan ditutup dengan kulit Harimau Gembong. Dadak merak, kerangka terbuat dari bambu dan rotan sebagai tempat menata bulu merak untuk menggambarkan seekor merak sedang mengembangkan bulunya dan menggigit untaian manik - manik (tasbih). Krakap terbuat dari kain beludru warna hitam disulam dengan monte, merupakan aksesoris dan tempat menuliskan identitas group reyog. Dadak merak ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram.
Post a Comment
0 Comments