Reyog Obyogan dan Reyog Festival

-->
Reyog Ponorogo dalam Perspektif High/Low Context Culture:
Studi kasus Reyog Obyogan dan Reyog Festival


Oki Cahyo Nugroho, S.Sn
Abstrak
Perbedaan-perbedaan dalam format pertunjukkan, perangkat yang dipakai, motivasi dalam pertunjukkan, interkasi dengan penonton, interkasi dengan pemain lain dan improvisasi dalam pementasan secara tidak langsung menimbulkan sebuah gaya dan karakteristik dalam komunikasi yang pada akhirnya membentuk karakter masing-masing pertunjukkan. Kekuatan dalam memegang idelogi atau kepercayaan terhadap seni Reyog yang berbeda inilah  yang selanjutnya menjadi sebuah karakteristik dalam proses komunikasi yang bisa kita jumpai dalam setiap pementasan baik dalam format Reyog obyog maupun Reyog dalam versi festival atau panggung. Hal inilah yang menyebabkan dalam setiap pertunjukan reyog baik dalam format obyog atau dalam versi festival selalu mempunyai ciri khas dan keunikan sendiri-sendiri dalam setiap pementasan. Dalam setiap pementasan yang berlangsung, secara langsung akan memproduksi simbol-simbol tertentu yang membuat atau mengajak penonton untuk saling berkomunikasi. lebih detil dan terlihat perbedaan dapat dilihat dari perbandingan foto-foto pementasan Reyog obyogan dan Reyog dalam format festival. dalam menjelaskan fenomena ini, penelitian ini menggunakan perspektif dari Edward Hall yang mengkategorisasikan budaya berdasarkan high / low culture context.
Kata kunci: Reyog festival, obyogan, high / low culture context 
 
-->
PENDAHULUAN
Reyog Ponorogo adalah sebuah pertunjukan tarian yang dinamis dan atraktif. Dalam bukunya, Jazuli (1994: 4) menjelaskan bahwa bentuk merupakan wujud dari sebuah tarian, sebuah tarian akan menemukan bentuk seninya apabila pengalaman batin pencipta maupun penarinya dapat menyatu dengan pengalaman lahirnya. Hal ini dapat dimaksudkan agar audience dapat tergerak dan bergetar emosinya atau dengan kata yang lebih sederhana penonton dapat terkesan setelah menyaksikan pertunjukan tari tersebut.
Dalam menjaga eksistensi dan lestarinya salah satu budaya warisan nenek moyang, Reyog mengalami beberapa pergeseran yang disebabkan oleh beberapa hal. Bentuk pergeseran ini dapat bermacam-macam, mulai dari pemainnya yang dahulu oleh laki-laki semua, sekarang terdapat perempuan sebagai penari  jathil. Semua penari Reyog yang dulu mengenakan topeng dalam sebuah pementasan, sekarang hanya pemain yang berperan sebagai Prabu Kelono Sewandono dan Bujangganong yang memakai topeng.
Dalam perkembangannya, pertunjukkan Reyog Ponorogo terbagi  menjadi beberapa versi. Beberapa penelitian menyebutkan Reyog Ponorogo terpecah menjadi beberapa versi yaitu versi festival, versi obyogan, dan santri. Dalam penelitian ini hanya akan diambil versi festival dan versi obyogan karena hanya dua versi inilah yang sering dipertunjukkan pada masyarakat. Reyog dengan format atau versi santri hanya terbatas pada kalangan pesantren dan jarang sekali dipertunjukkan dalam masyarakat umum. Pergeseran ini bisa diartikan sebagai sebuah perpecahan yang mengarah pada sebuah konflik yang dapat disimbolkan dengan penanda-penanda tertentu yang dapat dimaknai menjadi sebuah kata kunci atau sebuah tanda tertentu......
-->
Daftar Pustaka
Bernard Raho, 2007,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Griffin, Em,2011, A First Look At Communication Theory Eighth Edition,New York, Mcgraw-Hill
Jawa Pos Radar Madiun, 16 September 1999, hal 3.Reyog Ponorogo memilih hujan emas di negeri orang redup ditanah kelahiran”
Jazuli, 1994, Telaah teoretis seni tari, Semarang: IKIP Semarang Press
Kumorohadi, Tugas, 2004. Reyog Obyogan Perubahan dan Keberlanjutan Cara Penyajian dalam Pertunjukan Reyog Ponorogo, Surakarta: PPS STSI.
Kurnianto, Ridho dkk ,2007. Laporan Hasil Penelitian Pencitraan Perempuan dalam Kasus Perubahan Pelaku  Jathil. LPPM Unmuh Ponorogo.
Kuswarno, Engkus,2009, Metodologi Penelitian Komunikasi,  Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan contoh Penelitiannya.Bandung:Widya Padjajaran
Mulyana,deddy,2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Pemkab Ponorogo, 1993. Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa, Ponorogo.
Manis ,Jerome G and Bernard N. Meltzer, 1978. SYMBOLIC INTERACTION: A Reader in Social Psychology THIRD EDITION . ALLYN AND BACON, INC. Boston, London, Sydney, Toront
Storti ,Craig,2011, Culture Matters: The Peace Corps Cross-Cultural Workbook, Peace Corps,US.
Coupland ,Nikolas, Cardiff University, 2007, Style:Language Variation and Identity (Key Topics in Sociolinguistics), Cambridge University Press,UK.

Oxford Dictionaries,2011. Concise Oxford English Dictionary: Main edition.OUP Oxford

Rosengren, Karl Erik, 2000. Communication: An Introduction, London, SAGE Publication Ltd
Cleary,sandra,2009. Communication:A Hand –On Approach. Lansdowne, Juta and co ltd
Griffin ,EM,2012, A First Look At Communication Theory,8th edition.New York, Mac GrawHill.
Hall, Edward T,Mildred Reed Hall.1990.Understanding cultural differences: keys to success in West Germany,France, and the United States. Yarmouth,Maine 04096 USA, Intercultural Press, Inc
J Moleong Lexy, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung , Remaja Rosdakarya.
Lesmana.Tjipta.2009. Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Pengusaha. Jakarta .Gramedia Pustaka Utama.
Littlejohn dan Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory.California. SAGE Publications, Inc.

Journal
Shoji Nishimura, Anne Nevgi  and Seppo Tella, 2008. Communication Style and Cultural Features in High/Low Context Communication Cultures: A Case Study of Finland, Japan and India.
Seminar
Disampaikan pada Sarasehan bagi Seniman Reyog Ponorogo yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Kabupaten Ponorogo, pada hari Kamis tanggal 18 April 2013 bertempat di Tambak Kemangi Resort Jl. Ir. H. Juanda Ponorogo.


 
(tertarik dengan  versi lengkapnya isi "Hub.Kami/Pesanan" dng alamat email Anda, kami kirim lewat email)

Post a Comment

0 Comments