budaya
Pasar Krempyeng Di Pinggir Telaga Ngebel
Berkali-kali berkunjung ke telaga Ngebel
baru tadi pagi tahu kalau diujung tenggara ada pasar, pasar yang sudah
turun temurun. Karena selama ini begitu datang (sekitar subuh) langsung
mengarah ke masjid dan setelah itu mencari spot barat telaga untuk
menikmati matahari terbit dari balik bukit sebelah timur.
Pasar krempyeng, entah mengapa sering disebut begitu.
“Yen pengin moto teng mriki radi enjing mas, yen yah menten pun buyaran…”
kata bu Sanikem sambil menimbangi ketela rambat di lonjoran bambu yang
dibikin seperti tripot untuk menggantung timbangan neraca gantung. Dia
menyarankan kepada saya kalau kepingin foto-foto di pasar supaya datang
lebih awal.
“La milaine jam pinten bu bikake?” saya balik bertanya
“Jam 12 dalu niko tiyang tiyang sampun ngrembati dagangan asil tanen mas… jam 3 dalu sampun kebak peken mriki….”
jawab bu Sanikem, dia menjelaskan kalau jam 12 malam orang-orang sudah
berdatangan memikul hasil pertanian untuk dijual dipasar ini, dan jam 3
pagi pasar sudah ramai.
“Yen dalu sae, tiyang tiyang sami
mbeto obor jentrek-jentrek, senter sentolop pating clorot iring-iringan
bidal dateng peken ngiriki…..sampeyan saget mota-moto mas….” tambah
bu Sanikem, dia menjelaskan orang-orang sini beragakat ke pasar
bersama-sama dengan penerangan obor dan lampu senter, sinarnya
gemerlapan di malam hari indah kalu di foto.
Saya jadi penasaran kepingin datang agak malam dan langsung menuju ke arah pasar ini.
“Saben dinten pekenan bu peken mriki?” tanya saya
“Mboten mriki namung pekenan Pon Lan
Kliwon, dinten lintune tutup, yen dinten Wage lan Legi wonten peken
celake makame Nyi Latung kilen telogo megi teng Dlopo….” jawab bu Sanikem panjang, yang menjelaskan bila pasar ini hanya buka pada hari pasaran Pon dan Kliwon.
“Yen tindak miriki dinen Pon Kliwon mas…..” tambahnya.
Masih menurut bu Sanikem pasar ini ada
turun menurun sejak Indonesia merdeka, dan berhenti sekitar 2 tahunan
pada waktu sekitar peristiwa tahun 1965 dan setelah itu beraktifitas
lagi sampai sekarang, pasar ini dikelola oleh kas desa. Disebut
krempyeng karena sak kerempyengan, ketika hari mulai terang
pasar ini sudah buyar, dan bila hujan tiba pasar ini juga buyar, namun
semenjak ada kios-kios pasar ini buka sampai jam 8 pagi, dan kios buka
seharian (sampai jam 8 malam).
Pasar ini meski berumur tua tapi masih
sangat sederhana, minim barak-barak untuk berteduh seperti selayaknya
pasar, maklum ini pasar desa yang dikelola oleh desa, dan yang dijual
disini berupa hasil bumi seperti ketela, jagung, sayuran, buah buahan,
hewan unggas seperti ayam, mentok, itik.
Sebelum tahun 80-an disini masih pakai
sistem barter, barang dagangan ditukarkan dengan bakan konsumsi dari
kota. Dan cara menimbang-pun baru tahun 90-an, sebelumnya memakai
batokan (tempurung kelapa yang dibersihkan isinnya), 1 batok kira-kira
berisi 1 liter. Yang diukur memakai batok ; beras, jagung, kopi,
kedelai, kacang tholo, kacang ijo. Namun berkembangnya waktu berubah
mengikuti penimbangan Kg. tapi untuk ketela dan janten (jagung muda buat
sayur) masih memakai ukuran cenik (rinjing kecil= anyaman dari bambu).
Di pasar ini juga ada warung, warung
buka mulai jam 9 malam dan tutup jam 11 pagi. Yang terkenal warung pak
Tambir yang berada di sebelah barat. Selain sedia kopi dan teh, jajanan
berupa jadah bakar dan tempe goreng, dan puli (nasi yang dikasih borak
lalu dikasih kelapa terus ditumbuk). Pak Tambir juga melayani antar ke
para pedagang yang berjualan di pasar ini dan ketika selesai pasar baru
dibayar.
Yang lucu dipasar ini, orang-orang dari
pegunungan datang dengan berjalan kaki dan pulangnya naik truk dan
pik-up bak terbuka. Itupun hanya para perempuan, sedangkan para lelaki
memilih berjalan kaki naik turun bukit.
Karena hanya kendaraan itulah yang kuat
untuk turunan dan tanjakan, dan adanya hanya siang karena kalau malam
jalannya menyeramkan banyak jurang yang curam terlalu resiko bila naik
kendaraan. Itupun kalau tidak berbelanja banyak seperti mau hajatan atau
mendatangakn pupuk orang-orang memilih berjalan kaki puluhan kilometer
dengan memotong naik bukit turun bkit dengan jalan pintas. Sedangkan
barang dagangan akan dipikul oleh para suami mereka, sedangkan para
perempuan menggendong dengan rinjing. Ongkos sekali jalan 10 ribu, dan
bila membawa sak (karung plastik kecil) dikenai biaya 2 ribu per sak.
Maka tak heran bila bu Sanikem di awal
menceritakan bila kalau malam orang pergi ke pasar bersama-sama
berjejer-jejer dengan penarangan obor dan lampu senter.
Seperti halnya bu Giyem datang ke pasar
ini menjual hasil bumi dan pulangnya membeli gas elpigi, beras, bahan
mie instan, rokok, dan semua yang dibutuhkan yang tidak tersedia
didesanya. Karena desanya berada di pegunungan perbatasan dengan
pegunungan Sedudo Nganjuk. Dia berbelanja untuk keperluan 2 minggu.
Sekali berbelanja sekalian naik truk karena belanjaannnya banyak.
Untuk buah-buahan di pasar ini tidak
sebanyak dipasar barat telaga, karena lebih laku di pasar tersebut
karena orang kota lebih mudah untuk mengaksesnya. Para pedagang buahpun
cukup lesehan ditanah dengan beralasakan karung palstik bekas pupuk, dan
bila hujan tiba tinggal ditutupi plastik dan ditinggal berteduh. Cuaca
pegunungan Ngebel yang tiba tiba hujan dan tiba tiba panas sudah membuat
mereka terbiasa,
Saya jadi penasaran untuk datang di
pasar ini ketika malam hari, penasaran kepeingin melihat orang-orang
menuruni gunung beramai-ramai membawa obor, pasti seperti kembang api
yang berjalan di kegelapan malam. Semoga hari pasaran Pon besok saya
bisa ke sini lagi.
Oleh Nanang Diyanto
Post a Comment
0 Comments